Penulis : Jamhuri Ketua LSM 9 Jambi
Jambinow.id - Multi tafsir adalah suatu suku kata singkat yang berpengaruh pada sesuatu pandangan tentang apa saja yang berhubungan dengan kehidupan dan hukum yang menyangkut keabsahan hukum dan keabsahan perbuatan.
Kedua indikator tersebut melahirkan berbagai ragam dalih untuk lepas dari jeratan hukum walau harus menghadirkan pemikiran negatif (Negative Thinking) dari masyarakat yang mencederai hukum dengan tudingan hukum dapat diperjual belikan dan anggapan hukum tajam kebawah tumpul keatas.
Hukum dinilai terlampau lemah dalam melindungi hak - hak masyarakat atau seakan - akan hukum tidak memiliki kepastian hukum.
Padahal secara normatif, kepastian hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat serta diundangkan dengan pasti, dan dapat mengatur dengan jelas serta logis sehingga tidak akan menimbulkan keraguan apabila ada multitafsir.
Serta tidak akan berbenturan dengan beberapa kepentingan yang berbeda dan tidak menimbulkan konflik dalam norma yang ada di masyarakat.
Merujuk pada pendapat Utrecht, yang menyatakan bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya peraturan yang memiliki sifat umum untuk dapat membuat seorang individu mengetahui apa perbuatan yang boleh serta tidak boleh dilakukan.
Sementara pengertian yang kedua adalah keamanan hukum untuk seorang individu dari kesewenangan pemerintah sebab, dengan adanya peraturan yang berisfat umum itu, individu dapat mengetahui apa yang boleh dibebankan serta apa yang boleh dilakukan oleh negara terhadap seorang individu.
Kepastian hukum dapat disimpulkan sebagai kepastian aturan hukum serta bukan kepastian tindakan dan/atau perbuatan yang seakan - akan dianggap sesuai dengan aturan hukum, artinya kepastian hukum bukan tentang kepastian siapa berbuat apa, dan tidak berhubungan dengan prinsip siapa menguasai apa.
Kepastian hukum memberikan kepastian bahwa hukum bukan sekedar ornament pigura hiasan pelengkap keberadaan sebuah organisasi kekuasaan dengan orientasi keuntungan pemegang kekuasaan.
Serta hukum bukanlah alat untuk mendapatkan kekayaan dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum.
Tingginya angka perkara menyangkut Tindak Pidana Korupsi dan Konflik Lahan ataupun sengketa tanah yang terjadi layak dipandang disebabkan oleh pergeseran pengertian Kepastian Hukum yang diubah menjadi Kebal Hukum.
Bahkan perbuatan - perbuatan tersebut dilakukan secara terang- terangan dengan meyakini sudah ada yang membantu mengurus dan membenarkan jika perbuatan yang dilakukan berbenturan ataupun bertentangan dengan hukum.
Defenisi membantupun telah mengalami pergeseran makna menjadi melindungi, dengan berbagai cela dan cara.
Khusus untuk konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan berbagai badan hukum sepertinya dapat diterjemahkan disebabkan oleh lemahnya kepastian hukum menyangkut tentang perizinan penguasaan atas tanah yang diberikan oleh oknum - oknum pihak pemberi izin, baik Hak Guna Usaha (HGU), Izin Prinsif dan Izin Lokasi bahkan Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Tak dapat disangkal konflik lahan adalah induk dari kelahiran pelaku pemerkosaan atas norma - norma dan kerhormatan hukum. Ironisnya oknum yang berbuat hukum yang dihujat.
Akibat ulah oknum pemegang kekuasaan, hak dan kewenangan menjadikan hukum benar - benar hanya sebagai hiasan semata.
Dimana disinyalir perizinan dan alas hak yang diberikan dengan tanpa mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti adanya Sertifikat Hak Milik (SHM) yang Tumpang Tindih dan salah obyek, Hak Guna Usaha (HGU) diatas tanah yang di klem sebagai hak waris masyarakat, dan persoalan HGU yang berkembang biak dengan sendirinya hingga menjadi semakin luas.
Pemberian ganti rugi yang direkayasa oleh oknum pemohon HGU bahkan sampai dengan persoalan pengajuan perizinan yang merambah kawasan terlarang seperti kebun sawit di garis sempadan sungai.
Serta adanya perbuatan yang melahirkan semboyan atau anekdot dengan ungkapan Sertipikat mencari tanah.
Fakta yang terjadi pada setiap perkara baik perkara Tindak Pidana Korupsi maupun perkara Konflik Lahan terkesan merubah defenisi yuridis tentang Kekebalan hukum atau Hak Imunitas.
Semula kekebalan hukum memiliki pengertian adalah status hukum yang membuat seseorang atau suatu entitas tidak dapat ditindak secara hukum.
Kekebalan ini dapat berupa kekebalan dari dakwaan pidana atau dari tanggung jawab perdata, atau keduanya. Contohnya adalah kekebalan hukum atas diplomatik dan kekebalan hukum bagi saksi.
Kenyataannya penilaian masyarakat maupun pelaku usaha terhadap kebal hukum memberikan pengertian yang berbeda.
Dimana kebal hukum diartikan sebagai sesuatu kekuatan tersembunyi yang dimiliki oleh para oknum tertentu sehingga membuat tidak berlakunya kepastian hukum.
Pelaku dipandang sebagai sosok yang tidak akan tersentuh hukum dikarenakan memiliki pergaulan dan keuangan yang mampu membeli kesaktian hukum hingga menjadi kebal hukum.
Kalaupun penilaian dimaksud benar - benar terjadi tudingan kebal hukum tetaplah tidak bisa diterima dan dibenarkan.
Sebenarnya bukan sosok pelaku yang kebal hukum akan tetapi oknum pemegang hak dan kewenangan dalam urusan pemberian alas hak dan perizinan yang melacurkan diri dengan menjadikan kepastian hukum sebagai komoditas perdagangan yang diperjual belikan atau ditukar dengan materi.
Inilah kiranya yang menjadi beban utama dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafiah Tanah sejauh mana mampu membuktikan suasana sebagaimana pendapat Satjipto Rahardjo, yang mengungkap bahwa "Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum".
Hukum idealnya diperuntukkan guna menolong manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum secara filosofis dan sosiologis idealnya membawa kemaslahatan bagi manusia, atau masyarakat dari sebuah negara.
Pendapat ataupun Adagium ini membantu untuk memahami bahwa baik hukum dibentuk ataupun tidak dibentuk, baik ditegakkan maupun tidak ditegakkan semuanya semata-mata harus demi mewujudkan kesejahteraan bagi manusia.
Bukan sebaliknya, memperuntukkan atau mengorbankan manusia demi sebuah hukum atau keteraturan.
Perlakuan yang demikian niscaya adalah merupakan sebuah penyimpangan terhadap hukum itu sendiri.
Pengertian ringkasnya yaitu dengan hukum manusia mengorbankan atau memangsa manusia.
Hukum dibuat agar orang yang kuat punya kekuasaan yang terbatas (Inde datae leges be fortior omnia posset).
Sebagai salah satu indikator yang membedakan antara hukum alam manusia dengan hukum rimba.
Kiranya tugas utama bagi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Tanah bukan hanya sebatas tentang berapa banyak perkara yang terungkap akan tetapi mereka dituntut untuk mampu menciptakan paradigma baru dalam pemberian kepastian hukum.
Dengan mampu menafikan tudingan dari pemikiran miring yang dimaksud.
Serta memberikan keyakinan bahwa Kepastian Hukum tidak pernah berubah menjadi Kebal Hukum, yang dilakukan dengan cara memberikan pemahaman akan pemikiran bahwa Hukum terkadang tidur akan tetapi hukum tidak pernah mati.
Dengan menanamkan keyakinan kepada para calon oknum yang akan mendapatkan hak dan kewenangan yang diberikan oleh negara agar menyadari sepenuhnya bahwa dimana ada masyarakat dan kehidupan disitu ada hukum dan keadilan.
Para calon penerima hak dan kewenangan untuk berbuat dan bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan negara.
Benar - benar menyadari bahwa Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara.
Walaupun bagaimana Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
Dengan kemampuan dan profesionalitas Satgas Mafia Pertanahan diharapkan akan tercipta suasana dan paradigma baru.
Sehingga masyarakat benar - benar merasakan kehadiran dan campur tangan pemerintah sesuai dengan prinsip -prinsip dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State) dan tidak hanya sebatas slogan tidak ada yang kebal hukum dalam negara hukum (Recht Staat).(**)